Cerita Pendek | Cahaya Senja di Istana Perak
Cahaya Senja di Istana Perak
Angin musim gugur berbisik di antara dedaunan yang mulai menguning, menyapu halaman istana yang luas. Alfino, anak laki-laki berambut perak yang tampak seperti rembulan kecil yang jatuh dari langit, duduk bersila di atas rerumputan yang dingin. Pedang kayu di tangannya masih setia menemaninya, meskipun matahari telah condong ke barat dan cahayanya mulai memudar. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dengan gerakan lincah. Pada usianya yang baru sepuluh tahun, Alfino sudah memiliki postur yang tegap dan wajah tampan yang sering kali membuat para pelayan wanita tersenyum diam-diam saat melihatnya.
"Sekali lagi!" teriaknya pada bayangan sendiri, seolah-olah ia sedang bertarung melawan musuh tak terlihat. Pedang kayunya bergerak cepat, memotong udara dengan suara mendesis. Gerakan-gerakan itu bukan sekadar mainan anak-anak—Alfino telah berlatih keras selama bertahun-tahun, dibimbing langsung oleh ayahnya, Baron Eryndor, salah satu pemimpin pasukan kerajaan. Ayahnya sering berkata bahwa pedang adalah cermin jiwa seorang prajurit. "Jika kau tidak mampu menjaga pedangmu tetap tajam, bagaimana mungkin kau bisa menjaga orang-orang yang kau cintai?" kata-kata itu selalu terngiang di telinga Alfino.
Di bawah naungan pepohonan besar, adiknya, Liriana, bermain dengan boneka kain kesayangannya. Gadis kecil berusia lima tahun itu tertawa riang, rambut pirangnya yang ikal menari-nari ditiup angin. Walaupun mereka berbeda dalam banyak hal—Alfino yang serius dan ambisius, sementara Liriana lebih ceria dan polos—keduanya sangat dekat. Alfino selalu merasa tanggung jawab untuk melindungi adiknya, bahkan ketika ia sendiri masih anak-anak.
"Kakak!" panggil Liriana, melambaikan bonekanya ke arah Alfino. "Ayo main bersamaku!"
Alfino tersenyum tipis, lalu meletakkan pedang kayunya. "Sebentar lagi," katanya lembut. "Tapi sekarang Kakak harus latihan."
Liriana mengerucutkan bibirnya, namun kemudian ia hanya mengangguk dan kembali bermain. Alfino menghela napas lagi, kali ini dengan nada lega. Meski ia ingin sekali menjadi prajurit hebat, ada sesuatu tentang tawa adiknya yang membuatnya merasa bahwa dunia ini masih baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini.
---
Hari-hari di istana Perak selalu dipenuhi dengan ritme yang tenang namun penuh makna. Keluarga Alfino tinggal di sebuah kastil berwarna putih di tepi hutan, tempat mereka bisa mendengar burung bernyanyi di pagi hari dan melihat bintang-bintang berkilauan di malam hari. Pagi-pagi buta, Alfino biasanya bangun lebih awal untuk bergabung dengan pelatihan militer di istana. Di sana, ia bertemu dengan teman-teman dekatnya: Pangeran Aldric, putra mahkota yang karismatik, dan Puteri Elara, gadis cantik yang selalu membawa buku di balik lengannya.
"Apa yang kau baca kali ini, Elara?" tanya Alfino suatu sore, ketika mereka bertiga duduk di bawah pohon besar di halaman istana.
Elara menunjukkan sampul buku tebalnya. "Sejarah Kekaisaran Timur. Aku ingin tahu apa yang membuat mereka begitu kuat."
Aldric mendengus. "Siapa peduli? Mereka hanya penjajah yang haus darah."
"Tapi kita perlu mempelajari musuh kita jika ingin mengalahkan mereka," balas Elara dengan nada bijak.
Alfino mengangguk setuju. "Benar. Tapi aku lebih suka berlatih pedang daripada membaca tentang mereka."
Semua tertawa, tapi dalam hati Alfino merasa gelisah. Cerita-cerita tentang kekejaman Kekaisaran Timur semakin sering terdengar belakangan ini. Desas-desus tentang invasi besar-besaran mulai menyebar, meski belum ada yang benar-benar yakin apakah itu akan terjadi atau tidak. Namun, firasat buruk terus menghantui pikiran Alfino.
---
Beberapa bulan berlalu tanpa insiden. Musim gugur berganti musim dingin, dan salju mulai turun di halaman istana. Keluarga Alfino merayakan Festival Salju bersama keluarga kerajaan, menikmati hidangan hangat dan lagu-lagu tradisional. Namun, di tengah kebahagiaan itu, kabar buruk datang tanpa diduga. Pasukan Kekaisaran Timur telah menyerang wilayah perbatasan, dan desa-desa kecil mulai jatuh ke tangan mereka. Rakyat mulai panik, dan suasana di istana pun berubah drastis.
Suatu malam, ketika semua orang sudah tidur, Alfino mendengar percakapan orangtuanya di ruang tamu. Ia diam-diam mendekat, bersembunyi di balik pintu.
"Berapa lama lagi kita bisa bertahan?" tanya ibunya, Lady Seraphine, dengan suara bergetar.
Ayahnya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Kita harus siap untuk segala kemungkinan. Jika mereka mencapai istana, kita harus melindungi keluarga kerajaan... dan anak-anak kita."
Alfino merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang mendekat, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
---
Pada akhir musim dingin, bencana itu akhirnya tiba. Pasukan Kekaisaran Timur menyerbu istana dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Api melahap bangunan-bangunan, jeritan memenuhi udara, dan darah membasahi tanah. Alfino hanya sempat melihat wajah ayahnya sekilas sebelum kekacauan memisahkan mereka. Ia menggendong Liriana yang menangis, berusaha melindunginya dari panah-panah yang beterbangan. Puteri Elara, yang juga berhasil lolos, bergabung dengan mereka.
"Kita harus pergi!" teriak Elara, menarik tangan Alfino.
Mereka berlari menuju hutan, meninggalkan segala yang mereka kenal di belakang. Dalam hati, Alfino bersumpah bahwa ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan bertahan hidup, melindungi adiknya, dan membalas dendam kepada mereka yang telah menghancurkan rumahnya.
---
Angin malam berhembus dingin, membawa aroma abu dan kesedihan. Di bawah sinar bulan yang redup, seorang anak laki-laki berambut perak berdiri tegak, memegang erat tangan adiknya. Langkah-langkah kecil mereka meninggalkan jejak di tanah beku, menuju masa depan yang penuh ketidakpastian. Namun, di matanya yang penuh tekad, ada api yang tidak pernah padam. Api yang akan membakar jalan menuju kebebasan.
***
Posting Komentar untuk "Cerita Pendek | Cahaya Senja di Istana Perak"