Cerita Fiksi Singkat




Lentera di Ujung Jembatan

Hatinya seperti lentera yang tergantung di ujung jembatan tua, berayun-ayun antara dua pilihan: menyeberang atau tetap tinggal.
Cahaya itu memanggilnya untuk melangkah, namun angin dingin dari arah lain membuat kakinya ragu.
Apakah ia akan memilih cinta pertama yang redup namun akrab, atau cinta baru yang menyala tapi belum dikenal?

---


Kertas yang Tertulis Dua Nama

Di atas kertas kosong, ia mencoret-coret dua nama.
Satu seperti matahari yang menerangi pagi tanpa cela, satu lagi seperti bulan yang menemani malamnya yang sunyi.
Ia ingin merobek kertas itu, tapi tinta sudah meresap  terlalu dalam—seperti goresan hatinya sendiri.
---



Burung yang Takut Terbang

Cintanya bagai burung yang dipelihara dalam sangkar emas.
Ia tahu dunia luar lebih luas, lebih bebas, tapi sayapnya gemetar setiap kali ia membayangkan angkasa.
Apakah ia akan melepaskan diri dari kenyamanan palsu ini, meski risiko jatuh begitu nyata?
---



Dua Arah Angin

Angin datang dari dua arah.
Yang satu hangat, membawa aroma bunga kenanga—mengingatkannya pada masa-masa indah bersama sahabatnya yang kini menjadi lebih dari itu.
Yang lain dingin, menusuk tulang, tapi membawa janji-janji manis tentang masa depan.
Ia hanya bisa diam, menunggu angin mana yang akan menentukan arah langkahnya.
---



Pantulan di  Kaca Retak

Ia melihat wajahnya di kaca retak.
Di sana ada dua bayangan: satu tersenyum lebar, satu lagi menunduk lesu.
Cinta mereka seperti kaca itu—indah, tapi rawan pecah.
Ia takut jika satu gerakan saja akan membuat semuanya hancur berkeping-keping.
---


 
Buku yang Belum Selesai

Cerita mereka seperti buku yang belum selesai ditulis.
Halaman-halamannya penuh coretan, kadang bahagia, kadang menyakitkan.
Ia memegang pena di tangannya, tapi ragu apakah ia harus melanjutkan cerita ini atau menutup buku dan mulai menulis yang baru.
---



Pelangi yang Pudar

Mereka pernah menjadi pelangi setelah hujan deras.
Namun kini, warna-warninya mulai pudar, digerus oleh waktu dan rasa bosan.
Ia bertanya-tanya: apakah pelangi itu akan kembali cerah, ataukah ia harus mencari langit baru yang mungkin lebih biru?
---


 
 Jam yang Berdetak Mundur

Cinta mereka seperti jam  dinding yang jarumnya bergerak mundur.
Setiap detik terasa semakin menyesakkan, karena mereka tahu akan ada akhir yang pasti.
Tapi apakah ia harus membiarkan jarum itu berhenti, atau mencoba memutar waktu agar segalanya kembali seperti dulu?
---



Samudra yang Terbelah

Hatinya seperti samudra yang terbelah oleh badai.
Di satu sisi, ada ombak tenang yang membawanya pada kepastian.
Di sisi lain, ada pusaran air yang menggoda dengan janji-janji petualangan.
Ia ingin melompat, tapi takut tenggelam.
---



Ranting yang Patah

Hubungan mereka seperti ranting pohon yang rapuh. Kadang masih bisa menahan beban, tapi satu goncangan kecil saja cukup untuk membuatnya patah.
Ia  ingin memperbaiki ranting itu, tapi takut jika usahanya hanya akan membuat semuanya semakin hancur.
***



Setelah Lentera Jatuh

Lentera itu akhirnya jatuh ke sungai, api padam dalam sekejap. Ia berdiri di tepi jembatan, menatap air yang mengalir membawa sisa-sisa cahaya. Hatinya kosong, tapi langkah kakinya mulai ringan. Mungkin ini bukan akhir, hanya awal dari gelap yang akan membawanya pada cahaya lain.

---



Kertas yang Terbakar

Ia akhirnya membakar kertas itu. Asap tipis menari di udara seperti doa yang tak terucap. Dua nama itu lenyap, tapi abunya tetap melekat di telapak tangannya. Ia tersenyum pahit—mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk memilih, tapi untuk belajar hidup tanp a jawaban.

---



Burung yang Menemukan Angkasa

Burung itu akhirnya terbang keluar dari sangkar. Sayapnya sempat goyah, tapi angi n dingin ternyata membantu mendorongnya lebih t inggi. Sekarang ia berada di antara awan, bebas—namun kesepian. Apakah kebebasan ini benar-benar sepadan deng an harga yang harus dibayar?

---



Angin yang Memilih Arah

Angin hangat akhirnya pergi, meninggalkan jejak harum kenanga yang pudar. Angin dingin tetap tinggal, membawa janji-janji yang belum pasti. Ia tahu ia telah membuat pilihan, tapi hatinya masih berbisik: apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh dinginnya malam?

---



Kaca Retak y ang Direkat

Ia mencoba merekatkan kaca retak itu dengan lem transparan. Meski bekas retaknya masih terlihat samar, ia merasa lebih tenang melihat bayangannya utuh lagi. Tapi ketika hujan datang, lem itu mulai meleleh. Apakah semua usahanya sia-sia?

---



Buku yang Ditutup

Akhirnya, ia menutup buku itu. Tidak ada kata-kata terakhir yang ditulis, hanya halaman kosong yang dibi arkan begitu saja. Ia menyimpannya di rak paling atas, dekat debu-debu kenangan. Kadang ia bertanya-tanya: apakah suatu hari ia akan membukanya lagi?

---



Pelangi yang Hilang

Hujan berhenti, pelangi pun menghilang. Langi t menjadi biru polos tanpa warna. Ia duduk di bawah pohon, menatap langit yang terlalu luas. Pelangi itu memang takkan kembali, tapi ia mulai belajar bahwa kadang langit yang kosong juga bisa indah.

---



Jam yang Berhenti

Jarum jam akhirnya berhenti di angka dua belas. Ruangan sunyi tanpa detik yang berdetak. Ia duduk di samping jam itu, merasa lega sekaligus hampa. Waktu telah berhenti, tapi apakah hatinya juga ikut berhenti?

---


Samudera yang Tenang

Badai berlalu, samudra kembali tenang. Ombak yang tadinya ganas kini melambai lembut, seperti  permintaan maaf. Ia berd iri di tepi pantai, menatap air yang tercermin di matanya. Ia sadar, mesk i samudra itu telah damai, luka yang tertinggal masih butuh waktu untuk sembuh.
---



Ranting yang Bertunas

Ranting yang patah ternyata mulai bertunas. Daun-daun kecil tumbuh di ujungnya, rapuh tapi penuh harapan. Ia memandang ranting itu dengan senyum getir. Mungkin hubungan mereka tidak sepenuhnya mati; mungkin ini adalah bentuk baru dari kehidupan yang sama.

***




Bayang Lentera di Air

Ia sering datang ke tepi sungai itu saat senja. Bayang lentera yang pernah jatuh ke air masih terlihat dalam ingatannya—seperti jejak cahaya yang tak bisa hilang meski sudah tenggelam. Kadang ia berharap, cahaya itu akan kembali menyala, tapi ia tahu itu hanya mimpi di antara riak air.

---



Asap Kertas yang Masih Tersisa

Di rak paling atas, lembaran kertas yang terbakar dulu meninggalkan noda hitam tipis. Ia sering menyentuhnya tanpa sadar, seperti mencoba merasakan aroma asap yang telah lama lenyap. Dua nama itu mungkin tak lagi ada, tapi bekasnya tetap membekas di hatinya—seperti arang yang sulit terhapus.

---



Sangkar yang Kosong

Sangkar emas itu masih tergantung di sudut kamarnya, kosong dan berdebu. Ia tidak pernah membersihkannya, tapi juga tak pernah membuangnya. Sangkar itu menjadi saksi bisu tentang burung yang pernah dipeliharanya—tentang sayap yang akhirnya mengepak bebas, meninggalkan ruang hampa di dalamnya.

---



Angin yang Tak Pernah Datang Lagi

Ia sering duduk di halaman belakang, menunggu angin hangat yang dulu selalu datang bersama bunga kenanga. Tapi sekarang, hanya angin dingin yang tersisa, membawa gema janji-janji yang tak pernah terpenuhi. Ia bertanya-tanya: apakah angin itu benar-benar pernah ada, atau hanya khayalan masa mudanya?

---



Retakan di Cermin Lama

Kaca retak itu masih ada di kamarnya, meski sudah direkat dengan lem berkali-kali. Setiap kali ia melihat pantulan dirinya, retakan itu selalu mengingatkannya pada dua bayangan yang pernah berdiri di sana—yang satu penuh harapan, yang lain penuh keraguan. Retakan itu bukan sekadar goresan fisik, tapi juga luka di hatinya.

---



Halaman Kosong yang Terbuka

Buku itu masih ada di raknya, tertutup rapat. Tapi kadang ia membukanya, menatap halaman kosong di akhir cerita. Halaman itu seperti cermin bagi hidupnya: penuh kemungkinan, namun tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan apa yang ia rasakan. Ia ingin menulis lagi, tapi pena di tangannya selalu ragu.

---



Langit yang Selalu Biru

Ia sering menatap langit, mencari pelangi yang dulu pernah muncul setelah hujan. Tapi sekarang, langit hanya biru polos, tanpa warna-warna yang pernah membuatnya tersenyum. Ia mulai menyadari bahwa pelangi itu bukan miliknya lagi—mungkin milik orang lain, atau mungkin hanya ilusi yang diciptakan oleh harapan.

---



Jarum Jam yang Berkarat

Jam dinding itu masih ada di ruang tamunya, jarumnya tak pernah bergerak lagi. Ia tak pernah memperbaikinya, karena suara detik-detik itu terlalu menyakitkan. Jarum jam yang berkarat itu seperti simbol dari waktu yang berhenti di hatinya—tak bisa maju, tapi juga tak bisa kembali.

---



Samudra yang Tenang tapi Mendalam

Ia sering duduk di tepi pantai, menatap samudra yang kini tenang. Ombaknya lembut, tapi ia tahu di bawah permukaan air itu masih ada pusaran yang mendalam. Samudra itu seperti kenangannya: tampak damai di permukaan, tapi menyimpan kedalaman yang sulit dilupakan.

---



Ranting yang Menjadi Pohon Baru

Ranting yang dulu patah kini telah tumbuh menjadi pohon kecil. Daun-daunnya hijau, tapi batangnya masih rapuh. Ia sering duduk di bawah pohon itu, memandang dedaunan yang bergoyang lembut. Ia tahu ranting itu bukan lagi bagian dari pohon lama, tapi entah bagaimana, ia merasa pohon ini adalah kelanjutan dari cerita yang sama.

***



Posting Komentar untuk "Cerita Fiksi Singkat"

Dukung Saya:

Donasi🫰